[Cleopatra](8) Cleopatra Sang Ratu – Dari Kemewahan Istana hingga Darah di Senat Roma!
Perang Aleksandria yang membawa Caesar ke Mesir untuk mengembalikan Cleopatra ke takhta ternyata berlangsung sangat singkat. Caesar tiba sekitar awal Agustus mengejar Pompey, dan pada akhir Januari perang sudah berakhir. Hanya dalam hitungan bulan, Cleopatra kembali berkuasa dengan tenang. Pertanian di lembah Sungai Nil tetap berjalan normal, rakyat nyaris tak merasakan perang—seolah hanya desas-desus samar yang terdengar. Begitu perang selesai, Mesir tetap kaya raya, dan Cleopatra menemukan bahwa kerajaannya masih penuh dengan sumber daya.
Cleopatra segera menggunakan kekayaan itu untuk membangun kembali kemegahan Alexandria. Istana diperbaiki, jembatan runtuh dibangun kembali, kanal-kanal dibersihkan, jalan-jalan dipugar dari puing barikade, hingga kota itu kembali megah seperti semula. Perpustakaan yang terbakar memang tak bisa dikembalikan, lima ratus ribu manuskrip lenyap, tapi Cleopatra berusaha bangkit. Ia membangun gedung baru dan mengumpulkan hingga ratusan ribu gulungan manuskrip sebagai awal koleksi baru. Walau tak pernah seterkenal perpustakaan lama, upayanya tetap menjadi simbol tekadnya.
Namun, berbeda dengan para leluhurnya yang memakai kekayaan Mesir untuk membangun kota dan lembaga megah, Cleopatra memilih jalannya sendiri. Ia tenggelam dalam kemewahan pribadi. Istana dihiasi, tongkang-tongkang megah dibangun untuk berlayar di Nil, pesta demi pesta diadakan, pakaian indah dan perhiasan mahal diborong. Ia bahkan dianggap sebagai ratu yang melampaui segala batas kemewahan. Dari seorang gadis muda yang dulu lembut, kini ia berubah menjadi pribadi yang egois, licik, dan tak segan melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaannya.
Adiknya sendiri, Ptolemeus muda, yang dulunya dinikahkan dengan Cleopatra saat masih berusia sebelas tahun, kini tumbuh semakin dewasa. Usia lima belas tahun—menurut hukum Mesir—akan membuatnya berhak memegang kekuasaan sebagai raja sekaligus suami Cleopatra. Cleopatra tak mau hal itu terjadi. Sebelum saat itu tiba, ia meracuninya hingga tewas. Dengan begitu, Cleopatra bisa memerintah sendirian tanpa gangguan siapa pun. Dari sini, jalan hidupnya penuh kemewahan tanpa batas, tetapi hatinya tak pernah benar-benar puas.
Sementara Cleopatra hidup dalam pesta pora, Caesar melanjutkan kariernya sebagai penakluk dunia. Meski sempat ditahan oleh urusan di Mesir, begitu ia kembali ke Eropa, kecepatannya menaklukkan Spanyol, Afrika, dan Asia membuat semua musuhnya runtuh dalam waktu singkat. Ia kembali ke Roma sebagai penguasa dunia yang diakui. Cleopatra yang bangga akan hubungannya dengan Caesar pun memutuskan: ia harus ke Roma, untuk menemuinya di sana.
Namun, rakyat Roma menolak kehadirannya. Di mata mereka, Cleopatra bukanlah sosok yang dihormati, melainkan simbol kebejatan moral Caesar. Di saat yang sama, Arsinoë—adik Cleopatra—dibawa ke Roma sebagai tawanan. Ia menjadi bagian dari prosesi kemenangan Caesar. Dalam tradisi Romawi, kemenangan seorang jenderal dirayakan dengan parade besar. Caesar menyatukan semua kemenangannya dalam prosesi selama empat hari berturut-turut. Arsinoë berjalan di depan kereta Caesar, dirantai emas. Tapi bukannya menambah kekaguman, rakyat justru bersimpati padanya. Wajah sedih sang putri membuat rakyat mencibir Caesar karena dianggap tega, sekaligus teringat bahwa Caesar terlalu lama terlena di Mesir bersama Cleopatra.
Kemarahan rakyat makin membesar saat Caesar menggelar pesta berlebihan. Kota Roma dijejali kerusuhan dan pesta pora. Bahkan ia membuat pertarungan laut di danau buatan, dengan kapal-kapal perang berisi tawanan Tirus melawan tawanan Mesir. Ratusan orang mati, darah memenuhi air. Ia juga menggelar pertempuran darat dengan lima ratus infanteri, tiga puluh kuda, dan dua puluh gajah di tiap pihak. Bukannya terhibur, rakyat justru terkejut dan menganggap Caesar kejam. Kekaguman yang dulu mengelilinginya berubah menjadi kebencian.
Di tengah itu semua, Cleopatra tinggal bersama Caesar di rumahnya di Roma. Kehadirannya menimbulkan ketidaksenangan publik. Rumor pun berkembang: Caesar berencana menjadi raja. Mark Antony, sekutunya, bahkan pernah mencoba meletakkan mahkota di kepala Caesar. Publik marah. Akhirnya, ketegangan pecah dalam tragedi paling terkenal di sejarah Romawi: Brutus dan Cassius memimpin konspirasi. Di ruang senat, mereka mengepung Caesar dan menikamnya dengan belati hingga tewas, sementara Antony hanya bisa terpaku menyaksikan sahabatnya roboh dalam genangan darah.
Cleopatra segera melarikan diri kembali ke Mesir. Arsinoë dibebaskan, tapi dilarang kembali ke tanah airnya. Ia hidup sebagai orang buangan di Suriah. Di sisi lain, istri Caesar, Calpurnia, meratapi suaminya dengan tulus. Malam sebelum pembunuhan, ia sudah merasa firasat buruk, tapi tak mampu menghentikan takdir. Saat jenazah Caesar dibawa pulang, ia hancur dalam tangisan. Tak punya anak, ia kemudian menyerahkan seluruh harta, buku, dan dokumen Caesar kepada Mark Antony—sahabat yang kini dianggapnya sebagai pelindung.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar