[Cleopatra](1) Lembah Sungai Nil : Tempat Lahir Sang Ratu yang Mengguncang Dunia
Kisah Cleopatra bukanlah kisah yang manis atau polos… melainkan kisah yang penuh dengan dosa, cinta terlarang, ambisi, dan kehancuran. Dari cintanya yang memabukkan, langkah-langkahnya yang nekat, hingga penyesalan dan keputusasaan yang akhirnya menjerumuskan… Cleopatra menjadi simbol bagaimana gairah bisa mengangkat, lalu menghancurkan.
Cleopatra lahir di Mesir. Tetapi darah yang mengalir di nadinya adalah darah Yunani—warisan dari keturunan Makedonia. Karena itu, meskipun Mesir dan Alexandria menjadi panggung kisah hidupnya, karakter Cleopatra lebih mencerminkan keberanian, kecerdikan, dan orisinalitas bangsa Yunani. Namun lingkungannya—iklim Mesir yang lembut dan menggairahkan—membentuk petualangan dan tragedinya yang tak terlupakan.
Mesir sendiri adalah negeri yang ajaib. Lembah panjang dan sempit ini berdiri subur di tengah gurun yang kering dan tandus. Lebih terisolasi daripada sebuah pulau, Mesir bagaikan taman rahasia di dunia. Andai kita bisa terbang dengan sayap elang dan melihat dari atas, kita akan menyaksikan lembah ini dengan kekaguman tanpa henti. Kita memang tak punya sayap elang, tapi ilmu pengetahuan manusia memberi kita semacam pengganti—meski butuh ribuan tahun penelitian untuk mengungkap rahasianya.
Akhirnya, rahasia Mesir ditemukan. Negeri ini ada, subur di tengah padang tandus, karena hukum hujan. Air laut menguap, naik ke atmosfer, lalu jatuh lagi sebagai hujan—tapi tidak sama di setiap tempat. Hujan paling deras turun di sekitar khatulistiwa, dan semakin sedikit saat mendekati kutub. Itulah hukum alam.
Namun, hujan tidak hanya bergantung pada garis lintang. Angin, pegunungan, dan percampuran udara juga menentukan. Angin yang melewati gunung bisa memaksa uap air turun sebagai hujan. Tetapi bila angin panas bergerak ke wilayah yang lebih hangat, ia justru menyerap lebih banyak uap dan menciptakan angin kering. Itulah sebabnya satu daerah bisa selalu hijau, sementara daerah lain gersang.
Contohnya di Amerika Selatan. Pegunungan Andes membuat uap air turun deras menjadi hujan, hingga curah hujannya mencapai lebih dari tiga meter dalam setahun. Akibatnya, lahirlah sungai terbesar di dunia—Amazon—dan hutan raksasa yang hampir tak bisa ditembus manusia. Sementara itu, di St. Petersburg, Rusia, hujannya hanya sekitar 30 cm setahun, membuat alamnya dingin, keras, dan jauh berbeda dari kesuburan tropis.
Tapi ada wilayah yang jauh lebih ekstrem—wilayah tanpa hujan sama sekali. Di sanalah tak ada tumbuhan, tak ada hewan, dan tak ada manusia. Hanya gurun sunyi, luas, dan mati. Gurun terbesar itu membentang dari Afrika Utara hingga Asia Barat Daya. Di sanalah kita mengenal Sahara, Arabia Deserta, dan padang gurun Mesir.
Di tengah gurun luas itu, hanya ada tiga lembah yang memecah keheningan. Pertama adalah lembah Laut Merah—sebuah cekungan yang dipenuhi air laut, namun tetap tandus di sekitarnya. Kedua adalah lembah barat dengan deretan oasis, tempat mata air kecil menciptakan taman hijau di tengah padang pasir. Oasis Siweh, misalnya, pernah dihuni ribuan orang dan berdiri megah dengan kuil Jupiter Ammon.
Namun lembah ketiga—yang paling penting—adalah lembah Sungai Nil. Dari pegunungan Abyssinia di selatan, hujan turun deras sepanjang tahun. Air itu tidak bisa mengalir ke laut di selatan, sehingga ia mencari jalan ke utara, melintasi padang gurun, dan akhirnya menjadi sungai besar: Sungai Nil.
Sungai Nil bukanlah sungai biasa. Setiap tahun, hujan deras dari Abyssinia membuatnya meluap dan membanjiri lembah luas sepanjang ribuan kilometer. Lembah itu berubah menjadi danau besar, lalu saat air surut, tanahnya menjadi subur luar biasa. Dari sinilah tumbuh jagung, gandum, dan tanaman lain yang membuat Mesir dijuluki negeri kelimpahan.
Keajaiban ini membuat Mesir berbeda dari negeri lain. Tidak ada hutan rimba yang menutupi lembah Nil, tidak ada binatang buas yang menguasainya. Alam seakan menjaga lembah ini khusus untuk manusia. Tidak heran bila Mesir menjadi salah satu tempat peradaban tertua di dunia. Bahkan catatan paling kuno, tiga ribu tahun sebelum Cleopatra, sudah menyebut Mesir sebagai negeri tua yang penuh monumen megah.
Delta Sungai Nil di utara menjadi mahkota peradaban itu. Dari udara, delta ini terlihat seperti segitiga hijau raksasa, penuh dengan sawah, dusun, dan kanal yang berliku. Saluran timurnya bernama Pelusiak, yang menjadi gerbang timur Mesir. Saluran barat bernama Kanopik, yang menjadi penghubung ke Laut Tengah.
Pantai Mesir penuh dengan pertempuran abadi antara Sungai Nil yang membawa pasir, dan Laut Tengah yang mendorongnya kembali. Hingga ribuan tahun lamanya, garis pantainya tetap berbahaya dan sulit diakses. Maka Mesir pun semakin terisolasi dari dunia luar—negeri yang terlindungi oleh gurun dan laut.
Namun akhirnya isolasi itu pecah. Bangsa Persia datang, menaklukkan Mesir melalui Pelusium. Lalu, sekitar 250 tahun sebelum Cleopatra lahir, Alexander Agung merebutnya dan menjadikan Mesir bagian dari kerajaannya. Setelah Alexander wafat, Mesir jatuh ke tangan salah satu jenderalnya: Ptolemeus, pendiri dinasti Yunani yang memerintah Mesir selama berabad-abad. Cleopatra adalah putri kesebelas dari garis keturunan ini.
Ibu kota mereka adalah Alexandria. Sebuah kota baru yang dibangun Alexander, lengkap dengan pelabuhan dalam, kanal yang menghubungkannya ke Nil, gudang perdagangan, dan mercusuar raksasa Faros—salah satu keajaiban dunia kuno. Alexandria pun tumbuh menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan kekuasaan Ptolemeus. Di sinilah Cleopatra akan lahir, tumbuh, dan menorehkan kisah yang mengguncang dunia.

Komentar
Posting Komentar